Serenade Kunang-Kunang (Cerpen)

Matahari semakin condong ke ufuk barat dan langit semakin menunjukkan semburat merahnya diantara gunung-gunung itu. Aku menatap jauh ke dalam sunga yang berisi bebatuan hitam. Batu-batu itu semakin tidak tampak. Sebuah cahaya samar-samar muncul dari balik dedaunan, diikuti cahaya-cahaya lain dibelakangnya. Air sungai sudah terasa agak dingin di kakiku.

“Aku masih belum bisa mas.” Akhirnya sebuah kalimat muncul setelah sekian lama kami larut dalam suara aliran air sungai ini.

“Kenapa Yan?” Aku berusaha menggali lebih jauh walaupun sebenarnya aku sudah tahu kabar-kabar yang berhembus di kanan kiri telingaku.

“Kenapa mas tidak datang?”

“Kenapa mas?”

Aku diam, aku tahu maksud arah pertanyaan ini kemana. Namun aku belum pernah memberikan kepastian yang jelas karena aku sendiri juga punya hidup yang belum jelas. Aku masih belum bisa menjawab. Kami kembali larut dalam diam, matahari semakin hilang di ufuk barat dan semburat-semburat merah itu juga pasti akan hilang dalam beberapa menit. Cahaya samar di sekitar sungai semakin bertambah banyak dan tampak semakin jelas.

Continue reading