Puisi Untuk Ibu (Cerpen)

Malam telah semakin larut namun aku tetap memegang pena ini.  Pena yang telah menemaniku dalam bertahun-tahun studiku  di Surabaya. Aku menatap lembaran putih kosong yang ada di depanku. Aku masih tidak tahu apa yang harus kutulis. Kenapa sulit sekali menulis beberapa bait kata, padahal aku telah berkali-kali menulis cerpen untuk berbagai majalah. Aku melihat pada tempat sampah di pojok ruanganku yang telah penuh dengan kertas yang aku buang karena ketidakberdayaanku dalam merangkai kata. Aku melihat lebih dalam lagi pada kertas-kertas itu, karena ketidakmampuanku, karena kertas itu penh dengan goresan yang tidak cocok denganku telah menjadi korban. Aku teringat ibuku jauh di seberang lautan, ibuku tidak akan pernah mungkin melukai anaknya tidak akan pernah mungkin menelantarkan anaknya walau dalam keadaan susah sekalipun, oh.. betapa aku dengan begitu mudahnya membuang kertas-kertas itu padahal kertas-kertas itu telah begitu berjasa padaku.

Aku kembali menatap hamparan putih kosong luas yang tiada bertepi. Aku coba sekali lagi kutulis beberapa rangkai kata “Untukmu Ibuku.” Setelah kata itu, penaku berhenti, otakku berputar lagi memeras lebih banyak sel-sel otakku agar semua ikut berpikir. Tapi tetap saja kertas itu hanya berisi dua kata. Aku coba menyelami kembali memori masa kecilku, ketika aku baru bisa naik sepeda aku mencoba menunjukkannya pada ibu yang sedang membawa berat belanjanya aku dengan girang berkata “Bu, lihat, aku sudah bisa naik sepeda” Ibuku hanya tersenyum dan tersenyum puas padaku hingga beberapa meter darinya aku terjatuh tersungkur kontan akupun menangis dan tanpa kuduga ibuku melepaskan semua belanjaannya dan berlari menolongku. Sungguh aku tidak akan pernah melupakan kejadian itu. Aku menerawang lagi hingga aku tiba di masa aku masih memakai seragam SMA ketika ujian akhir sedang berlangsung aku terbangun dini hari karena cemas pada ujian terakhir yang akan kuhadapi di masa SMA-ku. Aku mencoba mencari minum untuk menenangkan diri ketika tanpa kusadari aku mendengar orang berdoa dalam keheningan malam, aku berhenti di depan ruangan itu, tanpa kusadari pintu terbuka dan ibu melihatku berdiri terpatung. “Bu, sedang sholat malam ya?” tanyaku, “ya” jawab beliau singkat. Continue reading