Pilih Jamban atau TV ????

Jamban atau TV? Mana yang harus dipilih terlebih dahulu? Kalau punya uang banyak sih, keduanya bisa dengan mudah didapatkan, namun lain halnya jika kita memiliki keterbatasan finansial. Idiom di atas cukup untuk menggambarkan pergeseran budaya yang terjadi khususnya di perdesaan. Kondisi yang sampai saat ini cukup untuk mendeskripsikan keadaan yang sebenarnya

Tulisan ini saya buat sebagai catatan kaki hasil kerja praktek (KP) yang pernah saya lakukan di perdesaan di lereng gunung kelud, kabupaten kediri. Topik KP  yang saya ambil saat itu memang hanya melakukan studi energi alternatif dari tinja dan kotoran sapi, pemicuan dan pemberdayaan masyarakat di dalamnya. Namun ada hal menarik yang perlu dijadikan catatan dalam kerja praktek saya yang tidak termasuk scope yang saya batasi di atas. Yaitu mengenai budaya yang berkembang dalam masyarakat perdesaan yang disebabkan oleh kedua unit di atas.

Loh? Bagaimanan jamban dan TV bisa dijadikan indikator pergeseran budaya?

Sebenarnya hal ini sudah lama terjadi di dalam masyarakat, juga di kampung saya. Namun saya baru menyadari baru-baru ini ketika kuliah terutama ketika terjun langsung ke lapangan.

Jamban identik dengan kesehatan, kebersihan lingkungan dan pola hidup bersih dan bebas BABS (Buang Air Besar Sembarangan). Secara umum bisa dikatakan, orang yang punya jamban memiliki tingkat kebersihan dan taraf hidup yang lebih tinggi karena mereka memiliki pola hidup bersih dan setidaknya tidak mencemari lingkungan. Bahkan jamban menjadi salah satu tujuan yang harus dicapai dalam MDG’s (Millenium Development Goals) yang dicanangkan oleh PBB.

Sebegitu pentingkah jamban??

Yups, kebiasaan masyarakat perdesaan di indonesia yang sering buang air besar sembarangan menyebabkan taraf hidup mereka menurun. Taraf kesehatan menjadi rendah karena rentan terhadap penyakit dan secara tidak langsung menyebabkan akumulasi pencemaran lingkungan. Hal inilah yang telah lama distudi oleh tim-tim ahli.

Kenapa kok sampai sekarang masalah-masalah itu belum selesai? Sekarang era internet kan? Era dimana apa yang terjadi di belahan bumi lain kita bisa ketahui dalam sepersekian detik tapi kok masih mengurusi jamban?? Suatu hal yang primitif? Sudah berapa banyak tim ahli yang diturunkan??

Pertanyaan itulah yang dulu menjadi pertanyaan saya ketika diajak berdiskusi pertama kali mengenai jamban. Namun ketika turun langsung ke lapangan baru saya mengetahui masalah yang terjadi. Memang tidak semudah belajar pengelolaan sampah ketika saya berusaha mengkaji lebih dalam masalah ini. Banyak faktor non teknis yang mengahalangi tujuan MDG’s ini tercapai.

Membuat jamban merupakan hal yang mudah. Berbagai bentuk jamban bisa dibuat bervariasi dan dipasarkan. Penemuan-penemuan mengenai teknologi jamban terbaru bisa diciptakan dengan data dan analisis yang tepat. Mudah memang. Namun bagaimana dengan orang yang memakainya? Sesuaikah? Mau tidak orang yang memakainya? Hal inilah yang paling membuat susah untuk menerapkan pola hidup bersih di masyarakat.

Jamban terbaik pun tidak bisa dipakai bila tidak didukung oleh budaya pada lokasi dimana teknologi akan diterapkan. Seperti kita ketahui, budaya yang berkembang di kota saat ini sedikit banyak telah merambah ke perdesaan. Budaya hedonisme (hura-hura), menomorsatukan penampilan saat ini telah sukses menyingkirkan mentalitas petani dan moralitas guru di perdesaan.

Sesuatu yang perlahan-lahan melahap budaya ini datang karena memang sifat manusia secara harfiah ingin hidup lebih enak dan lebih nyaman. Kenapa disini saya mengambil TV sebagai pembandingnya. Alasannya simple. Hampir setiap rumah yang saya datangi ketika Kerja Praktek untuk disurvey memiliki TV namun ketika ditanya perihal jamban? Banyak yang masih menjawab, “saya cukup di sungai saja mas. Kan langsung mengalir, ga kelihatan”. Ehmmm…

Seolah-olah tanpa dosa berkata seperti itu dan menganggap jamban bukanlah prioritas utama untuk dipenuhi sedangkan barang-barang elektronik terbaru dengan mudah dapat dijumpai bahkan sampai di plosok desa. Ketika saya survey itupun, HP yang model terbaru sudah saya temukan ada di desa itu. Namun bagaimana dengan jamban? Masih menjadi prioritas nomor 101 di bawah kebutuhan –kebutuhan lain.

Ketika saya iseng-iseng bertanya kepada salah satu penduduk “Bu, kalau tidak punya TV gimana?” Dengan polos ibu tersebut menjawab “Wah tidak ada hiburan dong Mas, kelanjutan cinta fitri gimana??” Ehmm…

Pertanyaan kedua saya. “Kalau melihat TV, yang sering dilihat apa bu?” dan dengan begitu bahagianya ibu tersebut mengatakan “Kalau saya dan anak saya yang besar ini  (perempuan baru lulus SMA) lebih suka sinetron mas, anak saya yang paling kecil suka kartun.” Ehmm… Saya pun melanjutkan “Sering melihat berita tidak Bu?” “Jarang mas, kalau ada berita yang heboh saja.” “Kalau Gosip Bu?” “Wah, itu agak sering Mas.” Ibu itu menjawab dengan agak malu-malu.

Dari percakapan itulah saya menyadari keberadaan media massa elektronik menjadi hal yang paling signifikan dan mempunyai peran besar merubah budaya yang ada pada masyarakat perdesaan.

Kok bisa???

Secara umum masyarakat perdesaan merupakan masyarakat mempunyai budaya hidup tersendiri yang secara turun temurun diwariskan. Namun keberadaan media elektronik seperti TV yang mengumbar cukup banyak budaya perkotaan harus diakui telah merubah pola hidup masyarakat perdesaan menjadi kekota-kotaan. Padahal hampir semua yang ditampilkan di TV (kecuali berita) merupakan karya fiktif yang dilebih-lebihkan. Dan budaya perkotaan sendiri tidaklah seekstrim yang dimunculkan di TV. Ditambah kurangnya kemampuan menyaring informasi masyarakat perdesaan menyebabkan sedikit demi sedikit, perlahan-lahan budaya mereka bergeser menjadi budaya yang “Kagok.” “Kagok” merupakan istilah jawa yang digunakan untuk menyatakan ketidaksiapan atau biasa dikatakan nervous. Budaya “kagok” ini telah menghilangkan prinsip kebudayaan yang telah diwariskan secata turun temurun karena beralih ke budaya yang lebih modern namun tidak sesuai dengan budaya modern yang ada saat ini.

Komersialisme dari TV telah membuat sebagian orang menutup mata akan kebutuhan primer yang saat ini mutlak dibutuhkan. Seolah-olah bergeser kebutuhan primer sekarang bukanlah sandang, pangan papan namun kebutuhan primer sekarang adalah bagaimana terlihat modis, bagaimana bisa mentraktir pacar walaupun kita sendiri tidak punya uang, bagaimana bisa mendapatkan motor baru, bagaimana dan bagaimana yang selanjutnya. Bahkan ada juga orang yang berpikir “tidak masalah tidak punya rumah, yang penting bisa main ke dearah wisata setiap minggu.” Hal inilah yang membuat para fasilitator kesulitan dalam memulai pemicuan dan memasukkan paradigma-paradigma mengenai kebersihan lingkungan dan kesehatan.

Ketika saya membaca suatu artikel, ada sebuah kata-kata menarik yang dilontarkan oleh seorang mantan pejabat. “Ingin merubah budaya Indonesia? Atau ingin merubah paradigma masyarakat di Indonesia? Batasi komersialisme dari TV dan expose berlebihan dari media massa. Itulah yang harus dilakukan pertama kali.”

Jamban dan TV. Memang suatu kebalikan yang berhubungan.

Faktor non teknis lain yang membuat fasilitator kesulitan merubah paradigma masyarakat adalah karena derasnya arus urbanisasi.

Loh??

Arus urbanisasi memang secara harfiah dibutuhkan untuk membuat keadaan hidup menjadi lebih layak. Namun efek samping dari urbanisasi inillah yang menyebabkan kebudayaan “kagok” semakin kuat melekat di masyarakat perdesaan. Bagi remaja di perdesaan, pergi ke kota untuk bekerja merupakan suatu kebanggan dan jawaban keberanian serta ujian kedewasaan. Tidak perduli bekerja sebagai apa dan dengan gaji berapa, ada suatu kebanggan tersendiri yang hinggap ketika besok mereka pulang ke kampungnya. Namun sayangnya kebanyakan remaja yang melakukan urbanisasi mengalami shock culture yang luar biasa memberikan dampak di lingkungan sekitarnya. Ketidakmampuan menempatkan diri di budaya yang berbeda menyebabkan urbanisasi menjadi sebab nomor 2 yang berperan dalam pergeseran budaya di masyarakat perdesaan. Terbiasa memakai tank top ketika bekerja di kota, budaya jejaring sosial, tuntutan harus hidup modis dan stylish, malu karena hanya memiliki HP jadul dan beralih ke HP yang punya berbagai macam fitur namun tidak bisa menggunakannya adalah sedikit potret remaja dari daerah yang bekerja di perkotaan. Celakanya lagi, ketika merekak pulang ke kampung halaman budaya semacam itu masih dibawa ke kampung sehingga menimbulkan kesenjangan dan terpengaruhnya lingkungan di sekelilingnya.

Well, itulah sedikit uraian beberapa faktor non teknis kenapa sulit sekali menguraikan mata rantai sanitasi di masyarakat perdesaan.

Ehmmm… jadi pilih mana? Jamban atau TV?? Ketika pilihan itu dilontarkan. Silahkan tebak jawaban yang mungkin akan anda dapatkan.

4 thoughts on “Pilih Jamban atau TV ????

  1. itulah menu saji makanan padepokan kebersihan dan kesehatan lingkungan/sanitasi “yang” harus dilahap sebagai sarapan pagi, bagaimana mengubah perilaku+pemikiran dan harapan
    memutar balik sak jane dienggo opo/sebetulnya dibikin apa, opo gunane wong ngene yo
    ora opo-opo, kok peno repot yo ruwet ngurusi awak ndewe/ apa gunanya lha begini saja enggak apa-apa, kok anda kerepotan ya ruwet memperhatikan kami;bukan pada kebaikan dan keunggulan teknologi dibuat+rancang seperti selama ini diasumsi kan/anggap oleh kaum petinggi akademisi berderet-2 gelare itu….

    jadi kemanfaatan teknologi itu pilihan dan telah diminati apa dinikmati oleh siapa saja,
    seberapa bermanfaat atau menjerumuskan itu, amanah tugas yang mengetahui dan
    mempunyai ilmu untuk mengajari dalam bahasa mudah dimengerti (pola pikir masyara kat+murah dibeli (terjangkau dan memberi nilai tambah bagi potensi yang ada di alam sekitar).

    selamat menjumpai dan menikmati nuansa baru, bahasa kehidupan amat sangat berbeda
    dengan bahasa akademik. apa yang ada nikmatilah, apa yang seharusnya ada baru bisa dinikmati.

Leave a comment